TRAGEDI MEI 1998
Mari kita kembali saja reformasi. Enam belas tahun lalu atau
12 Mei 1998, situasi Indonesia khususnya Ibu Kota Jakarta sedang genting. Kerusuhan
Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998,
khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain.
Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi
Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh
dalam demonstrasi 12 Mei 1998 karena menuntut Presiden Soeharto mundur. Demonstrasi
mahasiswa untuk menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto kian
membesar tiap hari. Dan kita tahu, aksi itu akhirnya melibatkan rakyat dari
berbagai lapisan. Salah satu momentum penting yang menjadi titik balik
perjuangan mahasiswa adalah peristiwa yang menewaskan empat mahasiswa
Universitas Trisakti, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendrawan
Sie. Mereka ditembak aparat keamanan saat melakukan aksi damai dan mimbar bebas
di kampus A Universitas Trisakti, Jalan Kyai Tapa Grogol, Jakarta Barat. Aksi
yang diikuti sekira 6.000 mahasiswa, dosen, dan civitas akademika lainnya itu
berlangsung sejak pukul 10.30 WIB. Tewasnya
keempat mahasiwa tersebut tidak mematikan semangat rekan-rekan mereka. Justru
sebaliknya, kejadian itu menimbulkan aksi solidaritas di seluruh kampus di
Indonesia. Apalagi, pemakaman mereka disiarkan secara dramatis oleh televisi.
Keempat mahasiswa itu menjadi martir dan diberi gelar pahlawan reformasi. Puncak dari perjuangan itu adalah ketika Soeharto mengundurkan
diri sebagai presiden pada Kamis, 21 Mei 2008.
Fakta
menunjukkan bahwa yang disebut korban dalam kerusuhan Mei 1998 adalah
orang-orang yang telah menderita secara fisik dan psikis dan banyak kerugian
lainnya diantaranya :
a.
Kerugian material.
adalah kerugian bangunan, seperti toko, swalayan, atau rumah yang dirusak,
termasuk harta benda berupa mobil, sepeda motor, barang-barang dagangan dan
barang-barang lainnya yang dijanh dan/atau dibakar massa. Temuan tim
menunjukkan bahwa korban material ini bersifat lintas kelas sosial, tidak hanya
menimpa etnis Cina, tetapi juga warna lainnya. Namun yang paling banyak menderita
kerugian material adalah dari etnis Cina.
b.
Korban kehilangan pekerjaan.
adalah orang-orang yang terlibat terjadinya kerusuhan, karena gedung atau
tempat kerjanya dirusak, dijarah dan dibakar, membuat mereka kehilangan pekerjaan
atau sumber kehidupan. Yang paling banyak kehilangan pekerjaan adalah anggota
masyarakat biasa.
c.
Korban meninggal dunia dan
luka-luka. adalah orang-orang yang meninggal dunia dan
luka-luka saat terjadinya kerusuhan. Mereka adalah korban yang terjebak dalam gedung
yang terbakar, korban penganiayaan, korban tembak dan kekerasan lainnya.
d.
Korban penculikan.
Adalah mereka yang hilang/diculik pada saat kerusuhan yang dilaporkan ke YLBH
Kontras dan hingga kini belum diketemukan, mereka adalah :
1. Yadin
Muhidin (23 tahun) hilang di daerah Senen
2. AbdunNasir
(33 tahun) hilang di daerah Lippo Karawaci
3. Hendra
Hambali (19 tahun) hilang di daerah Glodok Plaza
4. Ucok
Siahaan (22tahun) hilang tidak diketahui di mana
Selain
penembakan empat mahasiswa Trisakti dalam tragedi Mei 1998, juga terjadi
tragedi kemanusiaan. Dimana tragedi
kemanusiaan ini menyisakan banyak keprihatinan dan tanya bagi banyak orang,
khususnya bagi para keluarga korban yang harus kehilangan keluarga dengan cara
paksa, perempuan yang menjadi korban pemerkosaan dan etnis Tionghoa yang
dijadikan korban kekejaman para pihak yang tidak bertanggungjawab. Etnis Cina
dan perempuan adalah target paling lemah dan mudah dituju. Puluhan atau bahkan
mungkin ratusan perempuan etnis Cina menjadi korban pelecehan seksual dan
perkosaan yang terjadi ketika rumah-rumah atau toko-toko mereka dibakar dan
dijarah pada tanggal 13 dan 14 Mei dulu di Jakarta. Begitu biadabnya para
pelaku seolah mereka sudah tidak memiliki rasa perikemanusian sedikitpun. Para
korban, tidak saja dilecehkan atau diperkosa, tapi ada pula yang dicekik dan
dibunuh. Sebagian korban mengalami gangguan jiwa sangat
serius.
Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang umumnya dikenal dengan nama
Komnas Perempuan adalah salah satu Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (National
Human Rights Institution/NHRI) dengan mandat khusus Anti Kekerasan terhadap
Perempuan. Kekhususan mandat tersebut juga ditunjukan oleh kesejarahan yang
mendasari lahirnya Komnas Perempuan pada 15 Oktober 1998 berdasarkan Kepres No.
181 Tahun 1998 yang kemudian diperbaharui dengan Perpres No. 65 Tahun 2005.
Ketika itu gerakan perempuan mendesak pemerintah untuk penyelesaian kasus
kekerasan terhadap perempuan, yakni perkosaan yang terjadi secara massal
terhadap perempuan, terutama etnis Tionghoa serta tuntutan agar negara memenuhi
hak perempuan korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Tragedi
kemanusiaan itu lebih dikenal dengan Tragedi Mei 1998.
Dari
hasil verifikasi dan uji silang terhadap data yang ada, menjadi nyata bahwa
tidak mudah memperoleh data yang akurat untuk menghitung jumlah korban
kekerasan seksual, termasuk perkosaan. TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual
di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya. Dari jumlah korban kekerasan
seksual yang dilaporkan, yang telah diverifikasi (diuji menurut tingkatan
sumber informasi) oleh TGPF sampai akhir masa kerjanya adalah sebagai berikut:
v Perkosaan:
52 orang korban
perkosaan:
a. Yang didengar
langsung 3 korban ;
b. Yang diperiksa
dokter secara medis: 9 orang korban;
c. Yang diperoleh
keterangan dari orang tua korban;
3
orangkorban;
d. Yang diperoleh
melalui saksi (perawat, psikiater,
psikolog):
10 orang korban;
e. Yang diperoleh
melalui kesaksian rohaniawan/pendamping
(konselor):
27 orang korban.
v Korban
Perkosaan dengan penganiayaan:
14 orang korban
a. Yang diperoleh dari keterangan
dokter: 3 orang korban;
b. Yang diperoleh dari keterangan saksi
mata (keluarga): 10 orang korban;
c. Yang diperoleh dari keterangan
konselor: 1 orang korban
v Korban
Penyerangan/penganiayaan seksual:
10 orang korban :
a. Yang diperoleh dari keterangan
korban: 3 orang korban;
b. Yang diperoleh dari keterangan
rohaniawan: 3 orang korban;
c. Yang diperoleh dari keterangan saksi
(keluarga): 3 orang korban;
d. Yang diperoleh dari keterangan dokter
: 1 orang korban’
v Korban
pelecehan seksual:
9 orang korban
a. Yang diperoleh dari keterangan
korban: 1 orang korban;
b. Yang diperoleh dari keterangan saksi:
8 orang korban (dariJakarta).
Ratusan manusia menjadi korban, dengan amat mengenaskan
mereka terpanggang kobaran api di dalam Yogya Plaza, Kleder, Jakarta Timur
setelah diperkosa. Tragedi ini tidak hanya terjadi di Jakarta, namun terjadi
juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Tragedi ini merupakan rentetan
kejadian yang memilukan, dimana sehari sebelumnya (12 Mei 1998) empat mahasiswa
Universitas Trisakti menjadi korban penembakan oleh aparat TNI pada saat
menggelar aksi menuntut Reformasi. Kejadian 11 tahun silam tersebut adalah
sejarah kelam bangsa ini. Namun sampai dengan saat ini tak juga ada
pertanggungjawaban pemerintah atas terjadinya tragedi Mei 1998.
KOMENTAR DAN
TANGGAPAN SAYA MENGENAI KEJADIAN DI ATAS.
MENGENAI TRAGEDI
PENEMBAKAN EMPAT MAHASISWA TRISAKTI
Menurut
saya, peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah tragedi nasional yang sangat
menyedihkan dan merupakan satu aib terhadap martabat dan kehormatan manusia,
bangsa dan negara secara keseluruhan. Pemerintah maupun masyarakat harus secara
sungguh-sungguh mengambil segala tindakan untuk mencegah terulangnya peristiwa
semacam kerusuhan tersebut. Adalah mendesak bahwa perhatian dan solidaritas
semua pihak diwujudkan secara nyata kepada para korban dan keluarga korban, sehingga
pemulihan hak-hak yang dilanggar dapat diwujudkan secara bersama. Kehormatan
kita sebagai satu bangsa yang beradab juga ditentukan sejauhmana bangsa kita
dapat mengoreksi kelemahan dan kekurangannya, secepat apa kita menghilangkan
rasa takut dan mewujudkan rasa tenteram dan aman untuk setiap orang tanpa
terkecuali.
Menurut saya, mahasiswa melakukan demonstrasi ada alasannya.
Yakni ingin Soeharto mundur dari Presiden karena tidak mampu menangani masalah
krisis dan kejenuhan masyarakat Indonesia dengan keotoriteran Soeharto. Wajar
kalau mahasiswa menuntut seperti itu. Karena Presiden Soeharto sudah menjabat
Presiden lama bertahun-tahun berkali-kali periode. Kepemimpinan yang terlalu
lama juga akan membuat kediktatoran dalam suatu negara. Banyak kejadian pelanggaran
HAM seperti Petrus (penembak misterius) pada orang yang tidak pro dengan
Soeharto dimana jika pada malam hari merencanakan demo esoknya orang yang
merencanakan aksi demo itu hilang tanpa jejak. Mungkin maksud Soeharto baik
yakni agar tidak terjadi kerusuhan. Namun, dengan adanya petrus tersebut,
berarti telah menghilangkan Hak Asasi Manusia dalam mengemukakan pendapat.
Selain itu pada masa Soeharto rakyat merasa sangat dikekang.
Hak memilih rakyat dikendalikan oleh Soeharto dimana rakyat harus memilih
Partai Golkar tidak boleh yang lain. Kalau ada yang melanggarnya, maka akan
dijatuhi sanksi. Hal ini mencerminkan Pemilu selama beberapa periode seperti
tidak berjalan Cuma angin lewat saja. Jadi, wajar jika mahasiswa dan rakyat
menginginkan wajah baru Presiden yang pro rakyat.
Isu
tentang HAM di Indonesia, sebenarnya bukan barang yang baru, karena
sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para founding fathers Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara jelas
yakni di
dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea 1 : “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Dengan
adanya penghargaan HAM pada Mei 1998 maka aparat penegak hukum wajib
menjalankan penyelidikan seperti apa yang telah tercantum dalam Pasal 18 Ayat 1
UU No 26 Tahun 2000
HAM
berupa hak hidup manusia pun dilanggar disini.Pasal 28j ayat 1 dan 2 (amandemen
ke 2) yang intinya setiap manusia wajib menghormati hak asasi manusia dan wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis. Tapi mana
aplikasinya? Membunuh merupakan hal mudah yang dilakukan oleh mereka yang
melindungi tujuannya agar tidak gagal. Jelaslah maka sebenarnya kebhinekaan
yang dimaksud oleh mereka adalah kebhinekaan materialis dan bukan kebhinekaan
Pancasilais. Akhirnya kita harus waspada dengan segelintir orang yang
mengaku-ngaku nasionalis padahal tidak Pancasilais.
Lalu siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian
empat mahasiswa Trisakti karena luka tembak ?
Dalam UU No 26 Tahun 2000 Pasal 42 berbunyi :
(1) Komandan militer
atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat
dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam jurisdiksi
Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang dilakukan pasukan yang berada di bawah
komando dan pengendaliannya yang efektif atau di bawah kekuasaan dan
pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari
tidak dilakukannya pengendalian pasukan
secara
patut, yaitu:
a.
komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui, atau atas dasar keadaan
saat itu, seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau
baru saja melakukan pelanggaran berta hak asasi manusia; dan
b.
Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak
dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasannya untuk mencegah atau menghentikan
perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya pada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan;
(2) Seseorang atasan, baik polisi
maupun sipil lainnya bertanggung jawab secara pidana terhadap
pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh bawahannya yang berada
di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut
tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar.
a.
atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara
jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan
pelanggaran berat hak asasi manusia; dan
b.
atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang
lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
menyerahkan pelakunya pada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan.
Jadi
menurut saya yang bertanggung jawab atas tewasnya empat mahasiswa Trisakti
karena luka tembak adalah
1. Seorang
komandan militer atau seorang atasan yang memimpin operasi Mei 1998 lalu dimana
komandan tersebut memerintahkan anak buahnya untuk menghadang perusuh yang
sedang demonstrasi.
2. Anak
buah atau pihak militer (bukan komandan) yang terbukti maupun yang belum
terbukti melakukan penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti.
Maka dari itu, pihak
Komnas HAM perlu meminta keterangan dari komandan militer yang memimpin operasi
Mei 1998 dulu seperti Wiranto dan Prabowo Subianto. Namun dalam meminta
keterangan, ada kendala yakni kurang kooperatifnya pihak komandan militer dalam
operasi Mei 1998. Hal ini membuat keluarga korban dan bangsa Indonesia semakin
putus asa karena kasus tonggak reformasi yang belum tuntas sampai sekarang.
Menurut saya, hanya ada
kebesaran hati komandan militer operasi Mei 1998 untuk rela diperiksa dan
bertanggung jawab atas kejadian dahulu.
TANGGAPAN
TRAGEDI PEMERKOSAAN KETURUNAN TIONGHOA 1998
Kekerasan
terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dalam bentuk
kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Kekerasan
terhadap perempuan dalam konteks Indonesia juga merupakan pelanggaran hak-hak
konstitusi warga negara, khususnya hak atas perlindungan diri dan hak atas rasa
aman (Pasal
28G (1)), hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin serta mendapat
lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28H (1)) serta hak untuk bebas dari
perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan hak atas perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif (Pasal 28 I (2)), hak untuk mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28 (2)), serta hak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum (Pasal 27 (1)) dan Pasal 28 d (1)).
Tragedi pemerkosaan keturunan
Tionghoa ini juga sebagai gerakan anti Cina dimana kejadian ini merupakan kejahatan genosida dimana juga ada kejahatan
kemanusiaan. Yang
dimaksudkan dengan kejahatan genosida adalah :
“setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan
kelompok
agama, dengan cara:
Lalu siapa yang harus bertanggung
jawab dengan tragedi pemerkosaan massal 1998 ini ?
Yang
bertanggung jawab pada tragedi yang memilukan ini adalah para pelaku pelecehan
seksual. Namun, tragedi ini seakan menghilang jejaknya tanpa diusut siapa
tersangkanya. Karena pihak penyelidik kesulitan dalam melakukan penyelidikan
karena pihak korban yang kurang kooperatif karena masih trauma.
Mungkin
para pejabat masih hidup dengan kegemaran lama : menutupi bahwa peristiwa itu memang terjadi,
karena sampai hari ini belum ada laporan tentang peristiwa perkosaan di seputar
kerusuhan kepada instansi pemerintah. Menurut
saya, sebab permasalahan belum ada laporan korban pelecehan seksual sederhana yakni :
Pertama,
di
negeri ini, dan dimanapun juga, “diperkosa” adalah kondisi yang dianggap
sebagai aib atau cacat yang sangat besar. Dan karenanya para korban dan
keluarganya niscaya untuk merahasiakan peristiwa yang menimpa dirinya.
Kedua,
karena
penderitaan fisik dan batin yang sangat berat, para korban dan saksi mata hanya
akan bercerita dengan susah payah, kepada orang-orang yang sungguh dia/mereka
percayai. Tiadanya laporan kepada
instansi-instansi pemerintah persis menunjukkan sebuah gejala bahwa selama ini
instansi-instansi pemerintah tersebut tidak atau belum mendapat kepercayaan
dari orang-orang yang mengalami peristiwa itu.
Maka
jangan heran apabila komunitas internasional memandang bangsa Indonesia dengan
sebelah mata, seperti memandang sekawanan makhluk barbar. Jangan pula heran
kalau investasi luar negeri tak juga mau datang ke Indonesia.
Dari
‘tiadanya’ laporan perkosaan kepada instansi pemerintah, tidak bisa disimpulkan
bahwa perkosaan itu tidak terjadi.
Inilah
saran saya kepada beberapa pihak yang mungkin dapat menyelidiki tragedi ini
lebih lanjut :
A. Pemerintah
1. Pemerintah
perlu melakukan penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku
utama peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998, dan kemudian menyusun serta
mengumumkan mengenai siapa peranan dan tanggung jawab serta keterkaitan satu
sama lain dari semua pihak yang bertalian dnegan kerusuhan tersebut. Untuk itu,
pemerintah perlu melakukan penyelidikan dalam seluruh proses yang menimbukan
terjadinya kerusuhan.
2. Pemerintah
harus segera memberikan jaminan keamanan bagi saksi dan korban dengan membuat
undang-undang dimaksud.
3. Pemerintah
perlu membuat UU tentang anti diskriminasi sosial.
4. Mengintegrasikan
hak-hak asasi perempuan dalam seluruh kerangka reformasi sektor keamanan;
5. Mengambil
langkah-langkah khusus, bersama organisasi-organisasi perempuan, termasuk
Komnas Perempuan untuk meningkatkan efektivitas keseluruhan sistem peradilan
dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan
seksual;
6. Pembekalan
dan peningkatan kapasitas para penegak hukum terkait isu kekerasan seksual dan
kekerasan terhadap perempuan.
KRITIKAN
SAYA
Sebuah ‘kejahatan publik’ yang
sistematis dan terorganisir hanya bisa dihadapi dan diperbaiki dengan usaha
‘anti kejahatan publik’ yang sistematis dan terorganisir juga. Maka
pembongkaran ini hanya bisa dilakukan dengan jaringan kerja sama berbagai
pihak: para korban maupun saksi mata, warga negara biasa maupun para petinggi,
gabungan berbegai agama maupun kelompok para relawan kemanusiaan, para ahli
maupun awam, para buruh maupun mahasiswa, kelompok asosiasi maupun
instansi-instansi pemerintah.
Kepada para pejabat pemerinrah,
Anda semua punya kepentingan khusus dengan tragedi massal yang sudah terjadi,
persis karena Anda semua menganggap diri sebagai manajer hidup bersama di
negara-bangsa ini. Khusus kepada para perwira dalam jajaran intelijen dan ABRI,
Anda semua punya kepentingan khusus dengan tragedi massal yang sudah terjadi,
persis karena Anda semua menganggap diri sebagai manajer keamanan hidup bersama
di negara-bangsa ini. Anda semua bisa memberikan bantuan yang berarti bagi
pembongkaran peristiwa ‘perkosaan massal’ dan ‘pengrusakan-pembakaran’ ini.
Saya tahu bahwa Anda semua begitu
fasih dan keras mengawasi, menyelidiki dan menginteli apa dan siapa saja: dari
hidup para buruh sampai asongan, dari kegiatan para mahasiswa sampai para
purnawirawan, dari kelompok diskusi sampai para aktivis kemanusiaan, dari buku
yang terbit sampai isi pembicaraan di berbagai pertemuan.
Karena Anda sudah melakukannya
selama berpuluh-puluh tahun. Hampir tak satupun, kegiatan di masyarakat yang
lolos dari layar pengawasan Anda. Maka jadilah sebuah pola yang sudah
berlangsung begitu lama: rentetan ijin bagi berbagai kegiatan, atau penangkapan
terhadap siapa saja yang tidak Anda inginkan. Kalau keahlian dan kefasihan mengawasi
setiap kegiatan dalam masyarakat sudah terbukti selama ini, Anda dan jajaran
teman-teman Anda tentu dengan mudah dapat mengenali dan menemukan jaringan para
perencana dan pelaku perkosaan massal serta pengrusakan,pembakaran yang
berskala seluas dan sebesar pertengahan Mei 1998 itu.
“Gajah di pelupuk mata tak tampak”
mungkin berlaku bagi satu atau dua orang diantara Anda. Itu biasa. Tetapi
tentulah tidak berlaku bagi ribuan petinggi dan perwira dari instansi-instansi
penjaga keamanan bangsa dan negara. Pastilah begitu banyak perwira dalam
jajaran Anda tahu persis jaringan perencana dan pelaku kerusuhan serta
perkosaan massal yang berskala seluas dan sebesar itu. Selain muncul dari dan
bagi keprihatinan yang mendalam, Semoga kritikan ini juga berguna untuk Anda
semua.
Kalau Anda – anda sekalian tak
berkenan untuk dimintai keterangan maupun pertanggungjawaban, jangan salahkan
jika semakin banyak warga dan kelompok masyarakat berkeyakinan bahwa berbagai
instansi ‘pemerintah’ dan ‘penjaga keamanan bangsa’ adalah instansi kosong yang
tak berfungsi. Atau, instansi-instansi itu dihuni dan berfungsi tetapi para
penghuninya telah merestui atau bahkan melakukan kolusi dalam peristiwa ‘perkosaan
massal’ dan ‘pengrusakan-pembakaran’ itu.
0 comments:
Post a Comment