Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs

Pages

Thursday, June 12, 2014

Alasan DIY Istimewa

Nama              : Prima Ratna S
NIM                : K7413124
Prodi               : Pendidikan Ekonomi D

Profil Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia, Soekarno, yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta merupakan daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut Zelfbestuur landschappen/Daerah Swapraja, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755, sedangkan Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku Buwono II) yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangganya sendiri yang dinyatakan dalam kontrak politik. Kontrak politik yang terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47, sedangkan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577. Eksistensi kedua kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari dunia internasional, baik pada masa penjajahan Belanda, Inggris, maupun Jepang. Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri yang merdeka, lengkap dengan sistem pemerintahannya (susunan asli), wilayah dan penduduknya.


Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya) Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden RI, bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Hal tersebut dinyatakan dalam:
1.      Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI.
2.      Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (dibuat secara terpisah).
3.      Amanat Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (dibuat dalam satu naskah).
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya kedudukan DIY sebagai Daerah Otonom setingkat Provinsi sesuai dengan maksud pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) diatur dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah. Sebagai tindak lanjutnya kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1819) yang sampai saat ini masih berlaku. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan DIY meliputi Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah Kadipaten Pakualaman. Pada setiap undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, dinyatakan keistimewaan DIY tetap diakui, sebagaimana dinyatakan terakhir dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Description: D:\Tugas Akhir\images\piagam-penetapan2.jpg
Gambar 2.2 Piagam Penetapan 19 Agustus 1945
Dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), DIY mempunyai peranan yang penting. Terbukti pada tanggal 4 Januari 1946 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949 pernah dijadikan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Tanggal 4 Januari inilah yang kemudian ditetapkan menjadi hari Yogyakarta Kota Republik pada tahun 2010. Pada saat ini Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kadipaten Pakualaman dipimpin oleh KGPAA Paku Alam IX, yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Keduanya memainkan peran yang menentukan dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.
Amanat 5 September 1945
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengadakan pembicaraan dengan KGPAA Paku Alam VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh KGPAA Paku Alam VIII pada hari yang sama. Isi dari amanat 5 September 1945 adalah sebagai berikut :
Description: D:\Tugas Akhir\images\amanat-hb-9.jpg
Gambar 2. 3 Amanat 5 September 1945
Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX
  1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
  2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
  3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Amanat KGPAA Paku Alam VIII
  1. Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
  2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.
  3. Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Keistimewaan Yogyakarta
            Keistimewaan Yogyakarta, terletak pada sejarahnya, mengingat :
1.      Pada waktu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bergabung dengan Republik Indonesia, saat itu Yogyakarta telah layak untuk mendirikan negara sendiri atau memiliki syarat-syarat dasar untuk menjadi sebuah negara, yaitu memiliki wilayah, memiliki rakyat, dan memiliki sistem pemerintahan. Namun Yogyakarta justru menggabungkan diri di bawah pemerintahan Republik Indonesia, sehigga Yogyakarta menerima predikat 'istimewa', langsung dari Presiden Soekarno lewat piagam 19 agustus 1945.
2.      Yogyakarta pernah menjadi pusat pemerintahan RI, sebagai ibukota pada tanggal 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949. Saat itu Sri Sultan Hamengku Buwono IX bahkan memberikan beberapa properti pribadi miliknya untuk menjadi Istana Negara, serta membongkar tabungan Kraton untuk menggaji staff Republik.
3.      Yogyakarta terlibat dan berperan aktif mendukung perjuangan RI, sehingga turut mengalami masa-masa peperangan, mulai dari bombardir tentara Inggris, agresi militer Belanda II dan Serangan Umum 1 Maret 1949. Dimana Yogyakarta mengalami kerusakan yang parah karena menjadi pusat daerah peperangan.
4.      Sikap dan kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menolak segala iming-iming dari Belanda akan pembentukan NegaraWilayah Jawa Tengah dengan Sultan sebagai kepala pemerintahannya, dan malah membantu RI untuk mencapai kemerdekaan sejati.
5.      Kebudayaan sistem kerajaan yang telah melekat.
Sebelum bergabung dengan Negara kesatuan Republik Indonesia, Yogyakarta memiliki sistem pemerintahan berbentuk kerajaan (Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Pakualaman) dan kebudayaan sistem pemerintahan kerajaan masih melekat pada masyarakat ataupun aparat di pemerintahan Jogja yang selalu patuh dan mengikuti semua peraturan yang di keluarkan oleh raja. Seperti halnya individu yang tak ingin kehilangan identitasnya, maka masyarakat Yogyakarta akan mempertaruhkan diri untuk identitas budaya tersebut. Keistimewaan Yogyakarta merupakan mahar atas bergabungnya Ngayogyakarto ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6.      Amanat Sri Sultan yang kemudian disebut Amanat 5 September tersebut merupakan bentuk dukungan Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat terhadap NKRI.
Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai suatu negara merdeka oleh Soekarno Hatta, sebenarnya Kerajaan Yogyakarta dan begitu juga kerajaan-kerajaan lain di wilayah bekas jajahan Belanda bisa saja melepaskan diri dari NKRI. Namun ternyata Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII memberikan dukungan terhadap NKRI dan dalam amanat yang ditandatangani Sri Sultan bersama Paku Alam menyatakan “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.” Isi lain dari amanat Sri Sultan tersebut adalah, “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kamipegang seluruhnya.”
7.      Amanat Paku Alam VIII yang menyatakan,
“Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.” Berikutnya, “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.”

8.      Keistimewaan Yogyakarta juga di dukung oleh para founding father terutama soekarno dengan payung hukum piagam penetapan.
Payung hukum ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Soekarno yang duduk di BPUPKI dan PPKI pada 19 Agustus 1945. Piagam penetapan ini kemudian diserahkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 6 September 1945. Isi piagam penetapan itu adalah, “Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX, Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:
Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia.

9.      Keistimewaan Yogyakarta dikuatkan dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan DIY
Terkait dengan perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia sesuai UUD 1945, Pasal 18 & Penjelasannya yang menjamin hak asal-usul suatu daerah sebagai daerah swa-praja (zelfbestuurende landschaappen).

10.  Berdasar putusan Mahkamah tentang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Saat ini Yogyakarta merupakan salah satu daerah istimewa yang dimiliki Indonesia. “Yogyakarta menjadi daerah istimewa karena faktor sejarah”.
Selain itu alasan Yogyakarta istimewa juga dilihat dari beberapa aspek diantaranya :
1. Alasan Filosofis
Pilihan sadar untuk menjadi bagian Indonesia merupakan refleksi filosofis Kasultanan, Pakualaman, dan masyarakat Yogyakarta secara keseluruhan yang mengagungkan kebhineka- an dalam ke-ika-an sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Keistimewaan Yogyakarta bisa menjadi solusi bagi Indonesia yang dihadapkan pada masalah. Oleh karena itu, rumusan keistimewaan Provinsi DIY harus menjadi dasar pengokohan lebih lanjut masyarakat multi-kultural yang mampu membangun keharmonisan dan kohesivitas sosial.

2. Alasan Kesejarahan-Politis
DIY memiliki sejarah yang khas dalam dirinya sendiri, yang sekaligus merupakan bagian dari sejarah survivalitas Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Kekhasan ini tidak dimiliki daerah lainnya. Status keistimewaan Yogyakarta merupakan pilihan politik sadar yang diambil
oleh penguasa Yogyakarta, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII, bukan pemberian dari entitas politik nasional. Hal ini penting untuk dipahami karena dari sisi keorganisasian keduanya memiliki struktur yang lengkap dan lebih siap untuk menjadi sebuah negara merdeka.

3. Alasan Yuridis
Amanat Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kanjeng Sultan dan Amanat Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangera Adipati Ario Paku Alam dapat dideskripsikan sebagai novum hukum yang menyatakan bahwa status Yogyakarta telah mengalami perubahan dari sebuah daerah Zelfbesturende Landschappen atau Daerah Swapraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa di dalam teritorial NKRI. Dalam rentang waktu antara tahun 1950 s.d. 2004 (Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1950 s.d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) terdapat konsistensi pada level yuridis yang mengakui keberadaan suatu daerah yang bersifat istimewa. Namun hal tersebut tidak diikuti dengan pengaturan yang bersifat komprehensif mengenai substansi keistimewaan sebuah daerah. Kehadiran sebuah undang-undang tentang keistimewaan Yogyakarta yang komprehensif sangat diperlukan guna memberikan jaminan hukum bagi pelaksanaan pemerintahan di Yogyakarta.

4. Alasan Sosio-Psikologis
Dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, Yogyakarta bisa dipastikan akan terus mengalami perubahan sosial yang sangat dramatis. Perkembangan tersebut tidak secara otomatis meminggirkan sentralitas Kasultanan dan Pakualaman sebagai sumber rujukan penting bagi mayoritas warga Yogyakarta. Sebagian besar masyarakat tetap memandang dan mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai pusat Budaya Jawa dan simbol pengayom.

5. Alasan Akademis-Komparatif
Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari beberapa daerah merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik di banyak negara. Rasionalitas bagi pemberian status keistimewaan bagi Yogyakarta sebagai wujud konkret dari kebijakan desentralisasi yang bercorak asimetris mendapatkan pembenarannya.

Dengan berbagai pertimbangan dan alasan yang antara lain telah dikemukakan di atas, serta setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) disahkan oleh DPR dalam Sidang Paripurna yang diselenggarakan pada hari Kamis, 30 Agustus 2012. Berbeda dengan peraturan-peraturan sebelumnya, undang-undang yang terdiri atas 16 bab dan 51 pasal ini mengatur keistimewaan DIY secara lebih menyeluruh. Dalam Pasal 1 angka 1. undang-undang ini dinyatakan bahwa DIY adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka NKRI. Lebih lanjut dalam angka 2. dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “keistimewaan” adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut UUD 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan istimewa, sebagaimana  dinyatakan dalam angka 3., adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Pengaturan mengenai kewenangan istimewa terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 7 undang-undang ini. Kewenangan istimewa DIY berada di provinsi. Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan keistimewaan yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Kewenangan dalam urusan keistimewaan meliputi:
1. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil
     gubernur;
2. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
3. kebudayaan;
4. pertanahan; dan
5. tata ruang.
Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan keistimewaan didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan dalam urusan keistimewaan diatur dengan Peraturan Daerah Istimewa DIY (Perdais). Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13., Perdais adalah Peraturan Daerah DIY yang dibentuk oleh DPRD DIY bersama gubernur untuk mengatur penyelenggaraan kewenangan istimewa.
Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Subtansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal :
1.      Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia;
2.      Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950);
3.      Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan & Adipati yang bertahta tetap dalam kedudukannya dengan ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya.

Analogi Perbandingan dengan Aceh
      Menurut Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo dalam bukunya yang berjudul Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya, untuk memahami kelahiran DIY, perlu diperhatikan bagaimana perbedaannya dengan kelahiran Daerah Istimewa Aceh. Yogya disebut istimewa karena sebelum bergabung dengan RI sudah memiliki sistem pemerintahan tersendiri atau apa yang disebut dalam pasal 18 UUD 1945 sebagai "susunan asli". Hal itu jelas karena Yogya merupakan sebuah kerajaan atau "nagari" tersendiri. Adapun Aceh, pada waktu bergabung dengan RI, bukan merupakan penerus langsung dari kerajaan-kerajaan yang pernah ada di daerah itu (Sujamto, 1988).
      Pada jaman Hindia Belanda, Aceh merupakan sebuah karesidenan. Pada masa itu, Karesidenan Aceh terdiri dari beberapa kabupaten (afdeling). Di kawasan Aceh tersebut ada beberapa daerah Zelfbestruurd gebied. Ada pula beberapa daerah yang diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda, disebut sebagai daerah rechstreeks bestruud gebied.
      Proses sampai akhirnya menjadi Daerah Istimewa Aceh, menurut Sujamto (1988), merupakan proses panjang dan melelahkan melewati tahapan-tahapan sebagai berikut :
      Pertama, pada saat RI merdeka, Aceh mendapatkan status baru sebagai sebuah karesidenan di dalam Provinsi Sumatera.
      Kedua, Pada masa revolusi kemerdekaan, Aceh menjadi sebuah Daerah Militer. Aceh bersama dengan Langkat dan Tanah Karo merupakan Daerah Militer di dalam Provinsi Sumatera.
      Ketiga, daerah Aceh disebut Presiden Soekarno sebagai "daerah modal" bagi Republik. Kemudian, dibentuklah Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat dan Tanah Karo.
      Keempat, Banda Aceh (Kutaraja) menjadi tempat kedudukan (kantor) Wakil Perdana Menteri RI. Pada waktu itu rakyat Aceh menyatakan aspirasi untuk menjadikan Aceh sebagai Provinsi Otonom.
      Kelima, Wakil Perdada Menteri menetapkan Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM/1949 tentang pembentukan Provinsi Aceh. Wilayahnya agak lebih luas dari wilayah Provinsi DI Aceh yang sekarang ini.
      Keenam, karena rakyat terus-menerus bergejolak dan menuntut supaya Aceh diberi otonomi secara khusus, akhirnya diputuskan bahwa Aceh merupakan sebuah Daerah Istimewa. Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia tanggal 26 Mei 1959 No.1/Misi/1959 menyatakan bahwa Daerah Swatantra Tingkat I Aceh dapat disebut sebagai Daerah Istimewa Aceh.

      Proses itu berbeda dengan Yogyakarta. Ketika RI merdeka, Yogya merupakan sebuah kerajaan (Kasultanan dan Pakualaman) yang berdaulat penuh. Yogya memiliki sistem pemerintahannya sendiri. Namun, pemimpin pemerintahan (raja) di Yogya memutuskan untuk bergabung dengan RI.

0 comments:

Post a Comment