Nama :
Prima Ratna S
NIM :
K7413124
Prodi : Pendidikan Ekonomi D
Profil Daerah
Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia
setelah Jawa Timur,
yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga
memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah
warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal
atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent
state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis
(Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia
Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat
XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende
Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini
membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan
mengurus wilayah sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya.
Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak
Pendiri Bangsa Indonesia, Soekarno, yang duduk dalam BPUPKI
dan PPKI sebagai sebuah daerah
bukan lagi sebagai sebuah negara.
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta merupakan daerah yang
mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut Zelfbestuur landschappen/Daerah
Swapraja, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan
Hamengku Buwono I pada tahun 1755, sedangkan Kadipaten
Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku Buwono
II) yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813. Pemerintah Hindia
Belanda mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai kerajaan dengan hak mengatur
rumah tangganya sendiri yang dinyatakan dalam kontrak politik. Kontrak politik
yang terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47,
sedangkan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577.
Eksistensi kedua kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari dunia
internasional, baik pada masa penjajahan Belanda,
Inggris,
maupun Jepang.
Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, kedua kerajaan tersebut telah siap
menjadi sebuah negara sendiri yang merdeka, lengkap dengan sistem
pemerintahannya (susunan asli), wilayah dan penduduknya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia (RI), Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan KGPAA (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya)
Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden RI, bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta
dan Daerah Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu
kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Hal tersebut
dinyatakan dalam:
1.
Piagam kedudukan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus
1945 dari Presiden RI.
2.
Amanat Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII tertanggal 5 September
1945 (dibuat secara
terpisah).
3.
Amanat Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober
1945 (dibuat dalam satu
naskah).
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya kedudukan DIY sebagai Daerah Otonom
setingkat Provinsi sesuai dengan maksud pasal 18 Undang-undang
Dasar 1945 (sebelum perubahan) diatur dengan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah.
Sebagai tindak lanjutnya kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 sebagaimana telah diubah dan ditambah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1959
Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1819) yang sampai saat ini masih
berlaku. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan DIY meliputi Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
Daerah Kadipaten Pakualaman. Pada
setiap undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, dinyatakan keistimewaan
DIY tetap diakui, sebagaimana dinyatakan terakhir dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004.
Gambar 2.2 Piagam Penetapan 19 Agustus 1945
Dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), DIY mempunyai peranan yang
penting. Terbukti pada tanggal 4 Januari 1946 sampai dengan tanggal
27 Desember
1949 pernah dijadikan
sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Tanggal 4 Januari
inilah yang kemudian ditetapkan menjadi hari Yogyakarta Kota Republik pada
tahun 2010.
Pada saat ini Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono X dan Kadipaten
Pakualaman dipimpin oleh KGPAA Paku
Alam IX, yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur
DIY. Keduanya memainkan peran yang menentukan dalam memelihara nilai-nilai
budaya dan adat istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.
Amanat 5 September 1945
Pada tanggal 1 September 1945,
Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak
keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga
dibentuk Badan Keamanan
Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sri Sultan Hamengku
Buwono IX mengadakan pembicaraan dengan KGPAA Paku Alam VIII dan Ki Hajar Dewantoro
serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap
Proklamasi, barulah Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan
yang dikenal dengan Amanat 5
September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki
Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia.
Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh KGPAA Paku Alam VIII pada
hari yang sama. Isi dari amanat 5 September 1945 adalah sebagai berikut :
Gambar 2. 3 Amanat 5 September 1945
Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX
- Bahwa
Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah
istimewa dari Negara Republik Indonesia.
- Bahwa
kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri
Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan
pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta
Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan
lainnja kami pegang seluruhnya.
- Bahwa
perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah
Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung
djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Amanat KGPAA Paku Alam VIII
- Bahwa
Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari
Negara Republik Indonesia.
- Bahwa
kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku
Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini
segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada
ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.
- Bahwa
perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara
Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas
Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Keistimewaan Yogyakarta
Keistimewaan Yogyakarta, terletak pada sejarahnya,
mengingat :
1.
Pada waktu Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat bergabung dengan Republik Indonesia, saat itu
Yogyakarta telah layak untuk mendirikan negara sendiri atau memiliki
syarat-syarat dasar untuk menjadi sebuah negara, yaitu memiliki wilayah,
memiliki rakyat, dan memiliki sistem pemerintahan. Namun Yogyakarta justru
menggabungkan diri di bawah pemerintahan Republik Indonesia, sehigga Yogyakarta
menerima predikat 'istimewa', langsung dari Presiden Soekarno lewat piagam 19
agustus 1945.
2.
Yogyakarta pernah menjadi pusat
pemerintahan RI, sebagai ibukota pada tanggal 4 Januari 1946 hingga 27 Desember
1949. Saat itu Sri Sultan Hamengku Buwono IX bahkan memberikan beberapa
properti pribadi miliknya untuk menjadi Istana Negara, serta membongkar
tabungan Kraton untuk menggaji staff Republik.
3.
Yogyakarta terlibat dan
berperan aktif mendukung perjuangan RI, sehingga turut mengalami masa-masa
peperangan, mulai dari bombardir tentara Inggris, agresi militer Belanda II dan
Serangan Umum 1 Maret 1949. Dimana Yogyakarta mengalami kerusakan yang parah
karena menjadi pusat daerah peperangan.
4.
Sikap dan kepemimpinan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX yang menolak segala iming-iming dari Belanda akan pembentukan NegaraWilayah Jawa Tengah
dengan Sultan sebagai kepala pemerintahannya, dan malah membantu RI untuk
mencapai kemerdekaan sejati.
5.
Kebudayaan sistem kerajaan yang telah melekat.
Sebelum
bergabung dengan Negara kesatuan Republik Indonesia, Yogyakarta memiliki sistem
pemerintahan berbentuk kerajaan (Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat dan
Pakualaman) dan kebudayaan sistem pemerintahan kerajaan masih melekat pada
masyarakat ataupun aparat di pemerintahan Jogja yang selalu patuh dan mengikuti
semua peraturan yang di keluarkan oleh raja. Seperti halnya individu yang tak
ingin kehilangan identitasnya, maka masyarakat Yogyakarta akan mempertaruhkan
diri untuk identitas budaya tersebut. Keistimewaan Yogyakarta merupakan mahar
atas bergabungnya Ngayogyakarto ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. Amanat Sri
Sultan yang kemudian disebut Amanat 5 September tersebut merupakan bentuk
dukungan Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat terhadap NKRI.
Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai suatu negara merdeka oleh Soekarno Hatta, sebenarnya Kerajaan Yogyakarta dan begitu juga kerajaan-kerajaan lain di wilayah bekas jajahan Belanda bisa saja melepaskan diri dari NKRI. Namun ternyata Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII memberikan dukungan terhadap NKRI dan dalam amanat yang ditandatangani Sri Sultan bersama Paku Alam menyatakan “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.” Isi lain dari amanat Sri Sultan tersebut adalah, “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kamipegang seluruhnya.”
Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai suatu negara merdeka oleh Soekarno Hatta, sebenarnya Kerajaan Yogyakarta dan begitu juga kerajaan-kerajaan lain di wilayah bekas jajahan Belanda bisa saja melepaskan diri dari NKRI. Namun ternyata Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII memberikan dukungan terhadap NKRI dan dalam amanat yang ditandatangani Sri Sultan bersama Paku Alam menyatakan “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.” Isi lain dari amanat Sri Sultan tersebut adalah, “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kamipegang seluruhnya.”
7. Amanat Paku
Alam VIII yang menyatakan,
“Bahwa
Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara
Republik Indonesia.” Berikutnya, “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang
segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan
keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman
mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang
seluruhnja.”
8. Keistimewaan
Yogyakarta juga di dukung oleh para founding father terutama soekarno dengan
payung hukum piagam penetapan.
Payung hukum
ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Soekarno yang duduk di BPUPKI dan PPKI
pada 19 Agustus 1945. Piagam penetapan ini kemudian diserahkan kepada Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 6 September 1945. Isi piagam
penetapan itu adalah, “Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kangjeng
Sultan Hamengku Buwono IX, Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:
Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono,
Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang
Kaping IX Ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, Dengan kepercayaan
bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa
dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik
Indonesia.
9.
Keistimewaan Yogyakarta dikuatkan dalam hal Sejarah
Pembentukan Pemerintahan DIY
Terkait dengan perjuangan Kemerdekaan Republik
Indonesia sesuai UUD 1945, Pasal 18 & Penjelasannya yang menjamin hak
asal-usul suatu daerah sebagai daerah swa-praja (zelfbestuurende
landschaappen).
10. Berdasar
putusan Mahkamah tentang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Saat ini
Yogyakarta merupakan salah satu daerah istimewa yang dimiliki Indonesia.
“Yogyakarta menjadi daerah istimewa karena faktor sejarah”.
Selain
itu alasan Yogyakarta istimewa juga dilihat dari beberapa aspek diantaranya :
1. Alasan Filosofis
Pilihan
sadar untuk menjadi bagian Indonesia merupakan refleksi filosofis Kasultanan,
Pakualaman, dan masyarakat Yogyakarta secara keseluruhan yang mengagungkan
kebhineka- an dalam ke-ika-an sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD
1945. Keistimewaan Yogyakarta bisa menjadi solusi bagi Indonesia yang
dihadapkan pada masalah. Oleh karena itu, rumusan keistimewaan Provinsi DIY
harus menjadi dasar pengokohan lebih lanjut masyarakat multi-kultural yang
mampu membangun keharmonisan dan kohesivitas sosial.
2. Alasan Kesejarahan-Politis
DIY
memiliki sejarah yang khas dalam dirinya sendiri, yang sekaligus merupakan
bagian dari sejarah survivalitas Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara.
Kekhasan ini tidak dimiliki daerah lainnya. Status keistimewaan Yogyakarta
merupakan pilihan politik sadar yang diambil
oleh
penguasa Yogyakarta, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII,
bukan pemberian dari entitas politik nasional. Hal ini penting untuk dipahami
karena dari sisi keorganisasian keduanya memiliki struktur yang lengkap dan
lebih siap untuk menjadi sebuah negara merdeka.
3. Alasan Yuridis
Amanat
Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kanjeng Sultan dan Amanat Sri Paduka Kanjeng Gusti
Pangera Adipati Ario Paku Alam dapat dideskripsikan sebagai novum hukum
yang menyatakan bahwa status Yogyakarta telah mengalami perubahan dari sebuah
daerah Zelfbesturende Landschappen atau Daerah Swapraja menjadi sebuah
daerah yang bersifat istimewa di dalam teritorial NKRI. Dalam rentang waktu
antara tahun 1950 s.d. 2004 (Undang-Undang Nomor 3
Tahun
1950 s.d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) terdapat konsistensi pada level
yuridis yang mengakui keberadaan suatu daerah yang bersifat istimewa. Namun hal
tersebut tidak diikuti dengan pengaturan yang bersifat komprehensif mengenai
substansi keistimewaan sebuah daerah. Kehadiran sebuah undang-undang tentang
keistimewaan Yogyakarta yang komprehensif sangat diperlukan guna memberikan
jaminan hukum bagi pelaksanaan pemerintahan di Yogyakarta.
4. Alasan Sosio-Psikologis
Dalam
beberapa puluh tahun terakhir ini, Yogyakarta bisa dipastikan akan terus
mengalami perubahan sosial yang sangat dramatis. Perkembangan tersebut tidak
secara otomatis meminggirkan sentralitas Kasultanan dan Pakualaman sebagai
sumber rujukan penting bagi mayoritas warga Yogyakarta. Sebagian besar
masyarakat tetap memandang dan mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai pusat
Budaya Jawa dan simbol pengayom.
5. Alasan Akademis-Komparatif
Pemberian
otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari beberapa daerah
merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum ditemui dalam
pengalaman pengaturan politik di banyak negara. Rasionalitas bagi pemberian
status keistimewaan bagi Yogyakarta sebagai wujud konkret dari kebijakan
desentralisasi yang bercorak asimetris mendapatkan pembenarannya.
Dengan
berbagai pertimbangan dan alasan yang antara lain telah dikemukakan di atas,
serta setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY)
disahkan oleh DPR dalam Sidang Paripurna yang diselenggarakan pada hari Kamis,
30 Agustus 2012. Berbeda dengan peraturan-peraturan sebelumnya, undang-undang
yang terdiri atas 16 bab dan 51 pasal ini mengatur keistimewaan DIY secara
lebih menyeluruh. Dalam Pasal 1 angka 1. undang-undang ini dinyatakan bahwa DIY
adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan dalam kerangka NKRI. Lebih lanjut dalam angka 2. dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan “keistimewaan” adalah keistimewaan kedudukan hukum yang
dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut UUD 1945 untuk
mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan istimewa, sebagaimana dinyatakan dalam angka 3., adalah wewenang
tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan
dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Pengaturan
mengenai kewenangan istimewa terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 7 undang-undang
ini. Kewenangan istimewa DIY berada di provinsi. Kewenangan DIY sebagai daerah
otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan
keistimewaan yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Kewenangan dalam urusan
keistimewaan meliputi:
1.
tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil
gubernur;
2.
kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
3.
kebudayaan;
4.
pertanahan; dan
5.
tata ruang.
Penyelenggaraan
kewenangan dalam urusan keistimewaan didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal
dan keberpihakan kepada rakyat. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan
dalam urusan keistimewaan diatur dengan Peraturan Daerah Istimewa DIY
(Perdais). Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13., Perdais adalah Peraturan
Daerah DIY yang dibentuk oleh DPRD DIY bersama gubernur untuk mengatur
penyelenggaraan kewenangan istimewa.
Substansi
istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak politik
antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan
Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Subtansi
Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal :
1.
Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan
Pemerintahan Daerah Istimewa sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya
mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia serta bukti
- bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik
sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang
ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia;
2.
Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan
Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah
Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang
bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945
& UU No.3/1950);
3.
Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan
Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta
(sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan
& Adipati yang bertahta tetap dalam kedudukannya dengan ditulis secara
lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta
sesuai dengan angka urutan bertahtanya.
Analogi Perbandingan dengan Aceh
Menurut Haryadi Baskoro
dan Sudomo Sunaryo dalam bukunya yang berjudul Catatan Perjalanan Keistimewaan
Yogya, untuk memahami kelahiran DIY, perlu diperhatikan bagaimana perbedaannya
dengan kelahiran Daerah Istimewa Aceh. Yogya disebut istimewa karena sebelum
bergabung dengan RI sudah memiliki sistem pemerintahan tersendiri atau apa yang
disebut dalam pasal 18 UUD 1945 sebagai "susunan asli". Hal itu jelas
karena Yogya merupakan sebuah kerajaan atau "nagari" tersendiri. Adapun
Aceh, pada waktu bergabung dengan RI, bukan merupakan penerus langsung dari
kerajaan-kerajaan yang pernah ada di daerah itu (Sujamto, 1988).
Pada jaman Hindia
Belanda, Aceh merupakan sebuah karesidenan. Pada masa itu, Karesidenan Aceh
terdiri dari beberapa kabupaten (afdeling).
Di kawasan Aceh tersebut ada beberapa daerah Zelfbestruurd gebied. Ada pula beberapa daerah yang diperintah
langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda, disebut sebagai daerah rechstreeks bestruud gebied.
Proses sampai akhirnya menjadi
Daerah Istimewa Aceh, menurut Sujamto (1988), merupakan proses panjang dan
melelahkan melewati tahapan-tahapan sebagai berikut :
Pertama, pada saat RI merdeka, Aceh
mendapatkan status baru sebagai sebuah karesidenan di dalam Provinsi Sumatera.
Kedua, Pada masa revolusi
kemerdekaan, Aceh menjadi sebuah Daerah Militer. Aceh bersama dengan Langkat
dan Tanah Karo merupakan Daerah Militer di dalam Provinsi Sumatera.
Ketiga, daerah Aceh disebut
Presiden Soekarno sebagai "daerah modal" bagi Republik. Kemudian,
dibentuklah Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat dan Tanah Karo.
Keempat, Banda Aceh (Kutaraja)
menjadi tempat kedudukan (kantor) Wakil Perdana Menteri RI. Pada waktu itu
rakyat Aceh menyatakan aspirasi untuk menjadikan Aceh sebagai Provinsi Otonom.
Kelima, Wakil Perdada Menteri
menetapkan Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No.
8/Des/WKPM/1949 tentang pembentukan Provinsi Aceh. Wilayahnya agak lebih luas
dari wilayah Provinsi DI Aceh yang sekarang ini.
Keenam, karena rakyat terus-menerus
bergejolak dan menuntut supaya Aceh diberi otonomi secara khusus, akhirnya
diputuskan bahwa Aceh merupakan sebuah Daerah Istimewa. Keputusan Perdana
Menteri Republik Indonesia tanggal 26 Mei 1959 No.1/Misi/1959 menyatakan bahwa
Daerah Swatantra Tingkat I Aceh dapat disebut sebagai Daerah Istimewa Aceh.
Proses itu berbeda dengan
Yogyakarta. Ketika RI merdeka, Yogya merupakan sebuah kerajaan (Kasultanan dan
Pakualaman) yang berdaulat penuh. Yogya memiliki sistem pemerintahannya
sendiri. Namun, pemimpin pemerintahan (raja) di Yogya memutuskan untuk
bergabung dengan RI.
0 comments:
Post a Comment